Pada jaman dahulu, saya suka main yang jauh. Main dengan brother dan atau teman-teman saya dari berbagai kalangan. Sejak dahulu, saya pengagum pantai dan senjanya, namun saya tidak bisa berenang bahkan menyelam untuk diving yang sedang booming. Sejak kecil, papa sudah menulari jiwa-jiwa dolannya kepada saya dengan penuh kesederhanaan. Rasanya, waktu itu tiada hari tanpa dolan setiap minggunya. Dolan menikmati alam, bukan sekedar cuci mata dan berakhir pada budaya konsumtifisme. Dolan dengan penuh kesederhanaan menggunakan roda dua. Jauh dekat tak masalah ketika itu, ketika encok di badan masih belum terasa begitu kuat semakin lama.
Kebiasaan itu berlanjut, masa-masa SMP dan SMA, hobi dolan terlaksana dengan teman-teman (waktu itu brother masih terlalu kecil untuk ikut dolan bersama). Sudah agak lupa kemana kami dolan bersama, yang saya ingat hanyalah pernah pada masa itu saya kemudian malas main karena takut di jalan. Iya, saya sempat takut jika terjadi apapun di jalan, bahkan di tempat tujuan. Katakaan saat itu sempat takut tantangan. Entahlah, sedihnya sekarang.
Beranjak sedikit lebih dewasa, rasa ingin main-main itu tumbuh kembali. Kehidupan di Malang yang banyak dan mudah dijumpai tempat main, seolah membius saya untuk kembali rajin main. Rajin setor muka ke setiap tempat wisata yang ada. Namun lagi-lagi kemudian saya sempat vakum dari dunia dolan-dolan karena beberapa kesibukan setiap weekend dan setiap libur.
Jadwal dolan-dolan yang sempat terbengkalai perlahan hidup kembali seiring berkembangnya akun instagram. Iya, banyak sekali akun pribadi bahkan akun official tempat-tempat dolan atau komunitas fotografi dan atau komunitas lainnya yang memamerkan aneka ragam pose tentang dolan dan jalan-jalan. Racun memang. Apalagi banyak sekali spot yang mungkin saja belum saya kunjungi #banyak pasti. Kemudian saya sempat mengikuti aliran dimana setelah saya dolan, saya aploud dengan sedikit touch up editing foto, hastag yang berjejer, dan caption yang penuh makna. Ah, masa itu. Masa pencarian jati diri. Masa di mana dolan begitu nikmat. Sempat saya berpikir, siapa tahu ketemu jodoh di salah satu perjalanan itu. Siapa tahu kan?
Perlahan kebiasaan dolan itu (apalagi yang kemudian di-aploud di sosial media) perlahan menghilang, tergerus dengan satu hal yang sebenarnya tidak dapat disalahkan. Dolan atau sekarang bahasa kerennya adalah traveling adalah hobi yang harus dituntaskan. Sama halnya dengan mas cami yang punya hobi pada modifikasi motor (yang tak ada habisnya 😪) dan pada musik yang masih tersalurkan kadang-kadang. Atau mungkin saja sebenarnya mas cami juga berhobi dolan namun saya yang tidak mengetahuinya?
Sekarang, saat ini, saya sedang malas dolan, malas jalan-jalan. Bagi saya sekarang semua itu hanya buang waktu, berkebalikan memang, seperti bukan dari saya persepsi itu. Seolah tergerus dengan satu hal yang kembali tak dapat disalahkan. Satu hal tersebut bukan sebagai penghalang saya dolan, namun entahlah, jiwa saya yang berkata, saya harus berhenti. Saya harus belajar lebih banyak tinggal di rumah karena akan ada yang saya urus. Semua itu nyatanya dapat saya lalui namun sesekali juga rindu dengan masa di mana dolan adalah dewa yang harus disembah. Saya labil di titik ini. Maafkan. Hiks.
Semalam ketika telefon hampir tengah malam berbunyi, mas cami mengatakan sesuatu tentang Morotai. Wilayah di salah satu bagian Indonesia timur (saya tahu setelah langsung mengecek via globe eh Google Maps maksudnya, sesaat setelah telefon ditutup). Iya, ada rencana ke Morotai dalam waktu dekat ini. Kembali bertafakur, jika memang harus berangkat jagalah beliau dan rekan-rekan sejawatnya. Tak lama memang, namun membayangkan mempersiapkan semuanya sendirian adalah seperti tinggal dalam rumah sendirian. Kepo-lah kemudian tentang Morotai, lebih tepatnya membayangkan bagaimana jika suatu saat tugas itu harus menyertakanku ikut. Morotai, di sana adakah sinyal? Adakah toko penjual pampers bayi? Atau adakah tempat dolan aduhai yang bisa sebagai pelipur lara?
Morotai yang jauh di mato, Morotai yang tak pernah saya cari tahu tentangnya sebelum ini, Morotai yang ternyata mempunyai Lanud Leo Wattimena, ternyata menyimpan segudang cerita sejarah. Saya bukan mantan anak IPS, jadi saya tidak tahu bagaimana sejarah Morotai. Pelajaran Sejarah sejak SD yang menampilkan kerajaan di Indonesia dan trengginasnya bangsa Indonesia jaman dahulu, tak sedikit pun menggores memori saya tentang Morotai. Iya, saya buta warna akan Morotai. Ternyata Morotai memang indah. Morotai memang candu. Banyak spot menarik yang harus dikunjungi jika saja saya sempat menginjakkan kaki di Provinsi Maluku Utara tersebut. Namun ingat, itu hanya seandainya. Karena tak mungkinlah tanpa suami menginjakkan kaki di tanah yang sempat dirajai oleh MacArthur tersebut. Ah, namun semoga saja tak lamalah mas cami di Morotai, kami punya satu jadwal untuk prewedding dalam waktu dekat ini. Bismillah. Semoga jika memang harus berangkat ke Morotai, tak lama dan kembali dengan selamat. Lalu jika suatu saat dapat bertandang ke Morotai, semoga dapat tumbuh kembali nafsu dolan mengeksplore Morotai. Wallahuallam 😂.
Kamis, 05 November 2015
Tentang Kebiasaan yang Tergerus
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar